
Maaf, anda
bukan muhrim saya.”
Demikian
kata-kata yang meluncur dari lisan seorang wanita ketika seorang laki-laki
mengulurkan tangan kepadanya. Laki-laki itu pun menjadi bingung. Apa itu
muhrim? Mungkin begitu pertanyaan yang bergayut di pikirannya.
Ada
di antara kita yang pernah menghadapi peristiwa seperti ini. Namun ternyata,
masih banyak yang keliru membedakan antara muhrim dengan mahram. Sebenarnya
kata yang tepat untuk konteks kalimat wanita itu adalah mahram bukan muhrim.
Mahram
adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab,
persusuan dan pernikahan (Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni 6/555).
Sedangkan muhrim adalah orang yang sedang melakukan ihram dalam haji atau
umrah.
Masalah
mahram merupakan salah satu masalah yang penting dalam syari’at Islam. Karena
masalah ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan hubungan mu’amalah diantara
kaum muslimin, terutama bagi muslimah. Allah Ta’ala telah menetapkan masalah
ini sebagai bentuk kasih sayang-Nya juga sebagai wujud dari kesempurnaan
agama-Nya yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Pembagian
Mahram
Syaikh
‘Abdul ‘Adzim bin Badawi Al-Khalafi (lihat Al-Wajiiz) menyatakan bahwa, seorang
wanita haram dinikahi karena tiga sebab, yaitu karena nasab (keturunan),
persusuan, dan mushaharah (pernikahan). Oleh karena itu, mahram wanita juga
terbagi menjadi tiga macam yaitu mahram karena nasab atau keluarga, persusuan
dan pernikahan.
Mahram
Karena Nasab
Mahram
karena nasab adalah mahram yang berasal dari hubungan darah atau hubungan
keluarga.
Allah
Ta’ala berfirman dalam surat An-Nur ayat 31, yang artinya, “Katakanlah kepada
wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah
mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami
mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara laki-laki
mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka.”
Para
ulama’ tafsir menjelaskan, “Sesungguhnya lelaki yang merupakan mahram bagi
wanita adalah yang disebutkan dalam ayat ini, adalah:
1.
Ayah
Termasuk
dalam kategori bapak yang merupakan mahram bagi wanita adalah kakek, baik kakek
dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak mereka ke atas. Adapun bapak
angkat, maka dia tidak termasuk mahram bagi wanita. Hal ini berdasarkan pada
firman Allah Ta’ ala, yang artinya, “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak
angkatmu sebagai anak kandungmu.” (Qs. Al-Ahzab: 4)
2.
Anak laki-laki
Termasuk
dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak
laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka
dia tidak termasuk mahram berdasarkan pada keterangan di atas.
3.
Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki
kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja.
Saudara
laki-laki tiri yang merupakan anak kandung dari bapak saja atau dari ibu saja
termasuk dalam kategori mahram bagi wanita.
4.
Keponakan, baik keponakan dari saudara
laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka.
Kedudukan
keponakan dari saudara kandung maupun saudara tiri sama halnya dengan kedudukan
anak dari keturunan sendiri. (Lihat Tafsir Qurthubi 12/232-233)
5.
Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari
ibu.
Syaikh
Abdul Karim Zaidan mengatakan dalam Al-Mufashal Fi Ahkamil Mar’ah (3/159),
“Tidak disebutkan bahwa paman termasuk mahram dalam ayat ini (QS. An-Nur: 31)
karena kedudukan paman sama seperti kedudukan kedua orang tua, bahkan
kadang-kadang paman juga disebut sebagai bapak.
Allah
Ta’ala berfirman, yang artinya, “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan
(tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu
sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq.” (Qs. Al-Baqarah: 133)
Sedangkan
Isma’il adalah paman dari putra-putra Ya’qub. Dan bahwasanya paman termasuk
mahram adalah pendapat jumhur ulama’.
Mahram
Karena Ar-Radha’
Ar-radha’ah
atau persusuan adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan
syarat-syarat tertentu (al-Mufashol Fi Ahkamin Nisa’ 6/235).
Sedangkan
persusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah sebanyak lima kali
persusuan, berdasar pada hadits dari `Aisyah radhiyallahu `anha, beliau
berkata, “Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali
persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali
persusuan.” (HR. Muslim 2/1075/1452)
Ini
adalah pendapat yang rajih di antara seluruh pendapat para ulama’ (Lihat Nailul
Authar 6/749 dan Raudhah Nadiyah 2/175).
Syaikh
Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa terdapat dua syarat yang harus dipenuhi
sebagai tanda berlakunya mahram ar-radha’ (persusuan) ini, yaitu:
Telah
terjadinya proses penyusuan selama lima kali.
Penyusuan terjadi selama masa bayi menyusui yaitu dua tahun sejak kelahirannya. (Lihat Durus wa Fatawal Haramul Makki Syaikh Utsaimin, juz 3 hal. 20)
Penyusuan terjadi selama masa bayi menyusui yaitu dua tahun sejak kelahirannya. (Lihat Durus wa Fatawal Haramul Makki Syaikh Utsaimin, juz 3 hal. 20)
Hubungan
mahram yang berasal dari persusuan telah disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam
firman-Nya tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yang artinya, “Juga
ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari persusuan.” (Qs.
An-Nisa': 23)
Dan
disebutkan juga oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang diriwayatkan
dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhu, ia berkata, “Diharamkan dari
persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab.” (HR. Bukhari 3/222/ 2645 dan
Muslim 2/1068/ 1447)
Dari
penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa mahram bagi wanita dari sebab
persusuan adalah seperti mahram dari nasab, yaitu:
1.
Bapak persusuan (suami ibu susu).
Termasuk
mahram juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga
bapak-bapak mereka ke atas. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata,
“Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin untuk menemuiku
setelah turun ayat hijab, maka saya berkata, “Demi Allah, saya tidak akan memberi
izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku
bukan saudara Abi Qu’ais, akan tetapi yang menyusuiku adalah istri Abi Qu’ais.
Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya
lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah
saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya, karena dia adalah
pamanmu.” (HR. Bukhari: 4796 dan Muslim: 1445)
2.
Anak laki-laki dari ibu susu.
Termasuk
anak susu adalah cucu dari anak susu baik laki-laki maupun perempuan. Juga anak
keturunan mereka.
3.
Saudara laki-laki sepersusuan.
Baik
dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.
4.
Keponakan persusuan (anak saudara persusuan).
Baik
anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.
5.
Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau
ibu susu).
(Lihat
al-Mufashol 3/160)
Mahrom
Karena Mushaharah
Mushaharah
berasal dari kata ash-Shihr. Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, “Shihr
adalah mahram karena pernikahan” (An Nihayah 3/63).
Contohnya,
mahram yang disebabkan oleh mushaharah bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari
istri yang lain (anak tirinya) dan mahram mushaharah bagi menantu perempuan
adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua)
adalah suami putrinya (menantu laki-laki) [Al Mufashshol 3/162].
Hubungan
mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam
firman-Nya, yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali kepada suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka.” (Qs. An-Nur: 31)
“Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu
tiri).” (Qs. An-Nisa': 22)
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri)
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya, dan istri-istri anak kandungmu (menantu).” (Qs. An-Nisa':
23)
Berdasarkan
penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi
selama-lamanya karena sebab mushaharah adalah:
1.
Ayah mertua (ayah suami)
Mencakup
ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas
(Lihat Tafsir As-Sa’di hal: 515, Tafsir Fathul Qodir 4/24 dan Tafsir Qurthubi
12/154).
2.
Anak tiri (anak suami dari istri lain)
Termasuk
anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan,
begitu juga keturunan mereka (Lihat Tafsir Qurthubi 12/154 dan 5/75, Tafsir
Fathul Qodir 4/24, dan Tafsir Ibnu Katsir 1/413).
3.
Ayah tiri (suami ibu tapi bukan bapak
kandungnya)
Haramnya
pernikahan dengan ayah tiri ini berlaku ketika ibunya telah jima’ dengan ayah
tirinya sebelum bercerai. Namun, jika belum terjadi jima’, maka diperbolehkan.
Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.” (Tafsir Ath- Thobari 3/318)
Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.” (Tafsir Ath- Thobari 3/318)
4.
Menantu laki-Laki (suami putri kandung)
Dan
kemahraman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada suaminya (Tafsir Ibnu
Katsir 1/417).
Ditulis
ulang dari artikel Mahrom bagi Wanita (Ahmad Sabiq bin `Abdul Lathif), majalah
Al Furqon, Edisi 3/ II, Dzulqa’idah 1423 H, hal 29-31 dengan beberapa tambahan
dari penulis.
Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad dan Ummu Asma’ Dewi Anggun Puspita Sari
Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad dan Ummu Asma’ Dewi Anggun Puspita Sari
Ada beberapa editan dari saya. Ini hanya sekedar berbagi ilmu dan pengetahuan yang mungkin belum anda ketahui lebih dalam. Semoga bisa anda ambil maknanya dan saling berbagi kepada yang belum mengetahuinya. Semoga bermanfaat (^_^) ~Cyndi Alfiani~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar